Selamat Datang Di Coretan Putra Aceh,

Thursday 8 September 2011

Kopi Aceh

Aroma kopi Aceh sudah sejak lama terkenal di Indonesia, mungkin pula di dunia. Aceh adalah salah satu penghasil kopi terbesar di negeri kepulauan ini. Tanah Aceh menghasilkan sekitar 40 persen biji kopi jenis Arabica tingkat premium dari total panen kopi di Indonesia. Dan Indonesia merupakan pengekspor biji kopi terbesar keempat di dunia. Bicara kopi Aceh pascatsunami, tak bisa lepas dari berdatangannya komunitas internasional di bumi Serambi Mekkah ini.
kopiacehMayoritas mereka juga menyukai kopi Aceh. Tak kurang dari seorang Bill Clinton, yang mantan Presiden Amerika Serikat itu pun, mengagumi kopi Aceh. Utusan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk korban tsunami itu, siap mempromosikan kopi Aceh, ke seluruh dunia melalui sebuah industri kopi di negerinya, Starbucks Coffee. Melalui dirinya, Starbucks Coffee telah menyatakan siap membeli kopi produksi Nanggroe Aceh Darussalam itu. Menurut Clinton, Starbucks Coffee telah menyetujui untuk mengambil kopi dari Aceh. Industri kopi itu tidak hanya membeli tapi juga mencantumkan dimana kopi itu berasal, yaitu tentu dengan label kopi Aceh.
Pada dasarnya kopi Aceh sama dengan kopi-kopi lainnya. Namun, karena ada beberapa bubuk kopi yang dicampur dengan bahan-bahan lain seperti jagung dan beras, ini bisa membuat cita rasa asli dari kopi hilang. 
Kenikmatan meminum kopi juga tergantung biji dan bubuk kopinya. Banyak kedai kopi-kedai kopi di Aceh menggunakan biji kopi yang berasal dari Lamno, Aceh Jaya atau mencampurnya dengan biji dari Geumpang Pidie tanpa menghilangkan aroma asli kopi masing-masing. 
Berkumpul dan minum kopi di kedai memang sudah menjadi kebiasaan orang Aceh sejak dulu. Orang Aceh berkumpul di kedai kopi, lebih kepada untuk mempererat rasa persaudaraan. Nawawi, pemilik kedai Solong Ulee Kareng, melihat kebiasaan orang Aceh minum kopi ini sejak kecil. Menurutnya, dulu untuk mendapatkan secangkir kopi selain membayar dengan uang juga dilakukan barter atau menukar barang langsung seperti hasil kebun dan lain-lain.
Aroma kopi Aceh akan semakin menjelajah dunia ketika kopi ini telah menjadi salah satu menu dalam Kedai Kopi Espresso Bar. Seteguk demi seteguk kopi Aceh pun akan sampai ke lidah orang-orang dari mancanegara dan seluruh Indonesia. Kenikmatan tiada taranya ketika menghirup kopi Aceh pun akan semakin bisa dinikmati warga dunia lainnya. Singkat kata, sekali mencoba kopi Aceh, dijamin pasti jatuh hati. Besok atau lusa nanti mesti kembali untuk merasakan kenikmatan aromanya lagi.

Tradisi minum kopi dikenal di banyak masyarakat di berbagai negara. Tetapi, barangkali hanya ditemukan di Aceh, entah di kota maupun desa, sejak subuh hingga tengah malam warga silih berganti ke kedai kopi.
Di desa, sejak dulu orang biasa ke kedai kopi setelah shalat subuh," kata Sulaiman Tripa, peneliti budaya dan penulis beberapa buku di Banda Aceh. Sulaiman sendiri pernah bekerja di kedai kopi kakaknya di Trieng Gading, Pidie, saat masih duduk di bangku SLTP.
Masalah kemudian muncul. Beberapa waktu lalu Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf, yang juga "pengunjung" kedai kopi, sempat gusar karena banyak pegawai negeri tidak di tempat ketika jam kerja. Ia melakukan "sweeping" ke kedai kopi favorit pejabat di Banda Aceh. Sejak itu orang berseragam pegawai negeri gerah duduk di kedai kopi.
Kedai kopi juga mengundang masalah rumah tangga. "Sarapan yang disediakan istri kerap tidak disentuh. Banyak suami memilih sarapan di kedai kopi," kata Tarmizi, pengusaha kedai kopi di dekat Bandara Blang Bintang, Aceh Besar.
Berubah fungsi
Menurut Sulaiman, fungsi kedai kopi telah berubah dari tempat minum kopi menjadi sejenis ruang sosial, tempat tukar-menukar informasi.
Pendapat senada dikemukakan Teuku Kemal Fasya, antropolog di Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe. Di kedai kopi tersedia jawaban atas hal-hal yang tidak terselesaikan melalui jalur formal.
Di kedai kopi, warga berbincang mengenai masalah keluarga, politik lokal, nasional, dan isu yang sedang hangat dalam sorotan pers. Pergantian pejabat kerap lebih dulu terdengar di kedai kopi, termasuk skandal pejabat.
Sosok kedai kopi itu sendiri mungkin akan mengejutkan mereka yang belum pernah ke Aceh. Di Banda Aceh, ratusan manusia berjubel di beberapa kedai kopi favorit. Kendaraan roda dua dan empat diparkir memanjang seperti di kompleks pertokoan.
Kedai kopi umumnya berada di sebuah atau beberapa ruko. Ada pula yang berbentuk warung seperti di Jawa. Dapat dibayangkan ketika ruangan sempit tersebut dijejali manusia pada tengah hari yang terik. Ditambah lagi asap rokok. Tetapi, semakin berjubel manusia justru semakin menarik minat pelanggan.

Suasana ini sulit ditemukan di daerah lain. Di Jawa, misalnya, jangankan gubernur atau bupati, seorang pejabat eselon II atau III di daerah pastilah enggan duduk di kedai kopi bersama warga biasa atau penganggur karena dianggap dapat mencederai wibawa korps pegawai negeri.
Pelepas stres
Lebih seru komentar yang terbetik di dunia maya seputar keberadaan kedai-kedai kopi khas Aceh ini.
Seorang blogger, Dudi Gurnadi dan teman-teman misalnya. Ia memelesetkan "warkop" di Aceh ini dengan sebutan "Starblack".
Kata Starblack merupakan kata plesetan dari warung kopi internasional yang saat ini merambah di berbagai belahan dunia, Starbucks. Warna hitam kopi di kedai-kedai Aceh, serta cita rasa yang tersendiri, membuat kopi Aceh cocok disebut oleh blogger ini sebagai Starblack.
Blogger lain menyatakan, kedai kopi di Aceh juga menjadi semacam tempat dugem (dunia gemerlap). Tiadanya tempat hiburan di Aceh seperti di ibu kota, diskotek, bioskop, ataupun kelab malam yang menyuguhkan musik hidup lengkap dengan hiburan-hiburannya, membuat kedai kopi Aceh sebagai salah satu "tempat hiburan" yang menyenangkan bagi orang-orang Aceh.

Suasana kedai adalah salah satu kunci sukses bisnis kedai kopi di Aceh. Kedai kopi milik H Nawawi di Ulee Kareng, Solong Banda Aceh, misalnya. Kedainya selalu ramai, bahkan sering pengunjung berdesak-desakan duduk di kedainya.
Keributan? Tidak juga pernah terjadi keributan maupun keluhan. Padahal, setiap hari rata-rata 2.500 orang minum kopi di kedai Nawawi yang dilayani 13 karyawan itu.
Di Ulee Kareng, harga secangkir kopi biasa Rp 3.500 dan kopi susu Rp 6.000. Berarti, setiap hari ada perputaran uang sekitar Rp 10 juta.
Hebatnya lagi, harga di kedai-kedai kopi ini juga bisa menjadi semacam "indikator ekonomi" di Aceh.

Di sana, harga secangkir kopi lebih dipercaya sebagai indikator baik-buruknya keadaan ekonomi. Kenaikan harga BBM atau kebijakan makro lain adalah hal berikut. Di sini, ke kedai kopi adalah bagian dari irama kehidupan dan dianggap menyangkut "hak asasi manusia".


rasakan cita rasa kopi dunia..
hub untuk pemesana di 085260482328