Selamat Datang Di Coretan Putra Aceh,

Monday 14 July 2014

Kisah Awal pepatah "Mate Aneuk Meupat Jirat, Gadoh Adat Pat Tamita"

Sejarah mencatat bahwa Belanda memiliki pengalaman pahit di masa lalu ketika ingin menguasai bangsa Aceh. Bukti sejarah itu masihbisa kita saksikan pada hari ini di komplek kuburan militer Belanda di Kota Banda Aceh yang hingga saat ini masih terawat dengan baik. Kompleks kuburan ini lebih dikenal dengan nama Kerkhoff Peucut. Pemerintah kota Banda Aceh telah merawat dengan baik sekitar 2200 jasad prajurit Belanda, termasuk serdadu tawanan yang dibawa dari Ambon dan Pulau Jawa, pada saat Belanda memerangi Aceh 26 Maret 1873 sampai 1942.

Jika kita melihat foto gerbang kerkhoff tempo dulu (foto tahun 1890-1910), kita bisa melihat bagaimana asrinya pohon-pohon yang ada dilokasi kerkhoff, seolah olah itu bukanlah kuburan yang menyeramkan, suram, dan sepi melainkan sebuah taman abadi tempat peristirahatan terakhir para prajurit Belanda yang sudah bersusah payah mati-matian berusaha menaklukkan Aceh. Sampai sekarang pun kita bisa melihat bahwa kerkhoff tidak hanya sebuah kuburan tua saja, tetapi juga sebagai suatu “taman” sejarah dimana jika kita berada disini kita akan merasakan bagaimana rasa heroik para pejuang, para pendahulu kita yang telah mempertahankan setiap jengkal tanah Aceh dari awak kaphe untuk diwariskan kepada anak cucunya kelak. Ah, lagi-lagi kakek-nenek buyut ku tak memperdulikan nyawanya demi aku. Benar-benar bukti kasih sayang orang tua kepada anak.

Selain dari para fotografer yang biasanya menyambangi kawasan ini untuk berburu objek foto, bisa dibilang tidak ada orang lain yang tertarik. Salah satu keuntungan dari ketidak ramaian pengunjung ini adalah lingkungan yang asri. Sampah yang ada hanya daun dari pepohonan tidak ada sampah plastik dan sisa makanan. Lingkungan yang tenang juga menjadikan areal ini layak dijadikan pertimbangan untuk tempat keluarga berwisata sambil menceritakan kehebohan Perang Aceh di masa lalu.

Namun dari ribuan makam berwarna putih yang tampak sangat terawat dan bersih tersebut, di bagian timur kompleks makam terdapat pemandangan lain. Di bawah sebatang pohon yang rimbun terdapat tiga buah makam dengan kondisi memprihatinkan. Rumput-rumput ilalang tampak tumbuh berantakan. Di areal kerkhoff ini terdapat makam Meurah Pupok, dibawahnya terdapat penjelasan mengenai siapakah Meurah Pupok ini: Terkenal dengan sebutan Peutjut, menurut sejarah Meurah Pupok adalah putera Sultan Iskandar Muda. Karena suatu “kesalahan” sultan menghukum sendiri puteranya ini. Sering disebut Pocut (anak kesayangan) kemudian berubah menjadi Peutjut. Pada saat Sultan akan menghukum putranya inilah lahir ungkapan “Mate Aneuk Meupat Jirat, Gadoh Adat Pat Tamita” yang artinya adalah Jika anak meninggal masih ada kuburan yang bisa dilihat, sedangkan jika adat yang hilang, hendak kemana kita mencarinya. Ungkapan ini menunjukan betapa adilnya Sultan Iskandar Muda dalam pelaksanaan hukum Islam yang bahkan dilaksanakan kepada anak lelaki tunggal tersayang.

Rasulullah pernah berkata “Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammadyang mencuri, pasti akan kupotong tangannya” (Riwayat Bukhari). Kunjungan sejenak ke Kerkhoff Peucut ini memberi kita suatu pelajaran dan tauladan yang sangat mengharukan, yaitu ketegasan sultan dalam menerapkan hukum yang seadil-adlinya bahkan terhadap puteranya sendiri.

Dalam bahasa jamee juga ada ungkapan yang hampir sama, ungkapan ini merupakan sebuah bait dari lagu nina bobo masyarakat suku jamee. “Hilang ameh dapek ditimbang hilang anak koma di cai” yang berarti hilang emas bisa ditimbang, hilang anak mau cari kemana. Ah, begitu memorial ditelingaku jika dibacakan bait ini. Benar-benar terasa bagaimana besarnya kasih orang tua terhadap anak

No comments: